Sabtu, 24 Oktober 2009

PEMANFAATAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot sp.) UNTUK PAKAN TERNAK KAMBING

Marhaeniyanto, E.  2007. Pemanfaatan Silase Daun Ubi Kayu untuk Pakan Ternak Kambing. Jurnal Buana Sains ISSN 1412-1638 Vol.7 Nomor 1, Juni 2007.  Hal. 71-82. 


Abstract
          This experiment was conducted at the Livestock Research Station in Prodo, Klampok Singosari Malang. This with the aim to evaluate usage the various additive in cassava leaf silage making and the response of the goats on cassava leaf silage feeding.
This research consist of two periode. The first periode, to evaluate usage seven treatments additive in cassava leaf silage making. The second periode, to evaluate response of the goats on cassava leaf silage feeding. Nine male goat aged 3-6 months with an initial body weight of 15,767 ± 2,516 kg were allotted to 3 treatments with 3 replications in a randomized block experiment design. The goat were fed on chopped elephant grass and three different levels of cassava leaf silage as treatment. During the experiment, daily amount of feed offered and refused, and their samples were taken for proximate analysis of DM, organic matter (OM) and crude protein (CP) content to measure feed intake.
The results showed that the different treatments of cassava leaf silage as a feed for goat not significantly respon for DM intake, OM intake, CP intake and average daily weight gain.

Keywords: cassava leaf silage, intake, average daily weight gain

Pendahuluan
Sumber hijauan pakan ternak yang paling utama pada saat musim kemarau adalah daun tebu dan daun ketela pohon (ubi kayu) yang tersedia melimpah pada saat musim panen. Daun ubikayu  diketahui sangat disukai ternak dan berkualitas tinggi terutama sebagai sumber protein yang merupakan zat makanan yang defisien di daerah tersebut. Tanaman ubi kayu mampu menghasilkan
 



daun sedikitnya 7 sampai 15 ton per ha (Bakrie, 2001). Daun Ubi kayu mengandung protein antara 20 sampai 27 % dari bahan kering, sehingga dapat digunakan sebagai pakan suplemen sumber protein terhadap hijauan lain rumput lapangan, daun tebu dan jerami padi yang berkadar protein rendah. Nilai tersebut hampir setara dengan kandungan protein pada beberapa tanaman jenis leguminosa yang umum digunakan sebagai pakan ternak, misalnya lamtoro (24,2 %), glirisidia (24,3 %), turi (27,1 %) dan kaliandra (30,5 %) (Marjuki, 1993). Kandungan protein yang tinggi tersebut maka daun ubikayu sangat potensial sebagai pakan sumber protein untuk ternak dan sangat cocok bagi petani karena ketersediaannya yang cukup banyak di sekitar area penanaman ubikayu,
terutama pada saat panen.
Masalahnya, daun ubikayu tersedia secara melimpah hanya pada saat musim panen. Pada saat tersebut daun ubikayu tersedia dalam jumlah sangat banyak, namun hanya sebagian kecil yang bisa termanfaatkan sebagai pakan ternak dan banyak yang ditinggalkan membusuk di lahan. Satu kendala penggunaan daun ubikayu sebagai pakan ternak adalah karena kandungan HCNnya yang cukup tinggi hingga mencapai 289 mg per kg BK daun ubikayu (Kavana et al., 2005). Konsumsi HCN yang terlalu tinggi dapat menyebabkan keracunan pada ternak. Gomez (1991) menyatakan bahwa batas maksimal
kandungan HCN yang aman bagi ternak adalah 100 mg per kg BK pakan. Di samping itu karena kandungan proteinnya yang tinggi, pemberian daun ubikayu pada ternak dalam jumlah banyak atau sebagai pakan utama juga merupakan pemborosan protein yang nilainya sangat mahal. Sementara itu daun ubikayu mudah sekali busuk jika ditumpuk dalam kondisi basah (segar), dan jika dikeringkan daun menjadi remah dan mudah hancur sehingga banyak biomasa daun yang hilang terutama pada saat penjemuran, pengangkutan dan penyimpanan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, melalui kegiatan
Participatory Training Course on “Cassava Production, Processing, Animal Feeding and Farmer Participatory Research” yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya Malang bekerjasama dengan CIAT Bangkok, Thailand di Batu tanggal 23 sampai 28 Januari 2006 telah diperkenalkan teknologi pengawetan daun ubikayu dalam bentuk silase. Silase merupakan metode pengawetan hijauan pakan ternak dalam bentuk segar melalui proses fermentasi dalam kondisi an aerob. Dengan metode tersebut maka daun ubikayu yang tersedia melimpah pada saat panen dapat diawetkan dan dapat
dimanfaatkan sebagai pakan suplemen sumber protein dalam jumlah secukupnya dan dalam jangka waktu yang lama. Penyimpanan daun ubikayu dalam bentuk silase terbukti dapat mempertahankan kondisi, kualitas dan palatabilitasnya dalam waktu yang cukup lama dan menurunkan kadar HCN sebesar 60 sampai 70 %, sehingga lebih aman diberikan pada ternak (Ly and Rodríguez 2001; Ly et al., 2005; Kavana et al., 2005). Pembuatan silase daun ubikayu sebagai pakan ternak telah banyak dipraktekkan oleh peternak di Afrika (Wanapat, 2001) dan di Asia antara lain Malaysia, Thailand, China, Komboja, Laos, Vietnam, India dan Bangladesh (Chin dan Idris, 1999; Lin Dajue dan Song Guangwei, 1999; Liu Jianping dan Tian Yinong, 2005; Ngo van Man, dkk., 2005; Loc, 2005; Ly et al., 2005).
Walaupun telah dilakukan pembuatan silase daun ubikayu di negara-negara Afrika dan Asia, namun pemanfaatan daun ubikayu di Indonesia sebagai silase untuk pakan ternak belum banyak dilaporkan. Untuk itu dilakukan penelitian bertujuan untuk (1) Mempelajari teknik pengolahan silase daun ubikayu (Manihot sp) untuk bahan pakan ternak (2) Mempelajari pemanfaatan pakan yang dibuat dari silase daun ubikayu (Manihot sp) untuk pakan ternak.

Artikel lengkap silakan Klik Scan PDF

Sabtu, 31 Januari 2009

PROSPEK PENGOLAHAN PAKAN HAY- SILASE DI INDONESIA (REVIEW)

Peningkatkan produktivitas ternak, salah satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah penyediaan pakan hijauan sepanjang tahun baik kualitas dan kuantitas yang cukup agar pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan ternak untuk mempertahankan kelestarian hidup dan keutuhan alat tubuh ternak (kebutuhan hidup pokok) dan tujuan produksi (kebutuhan produksi) dapat berkesinambungan. Secara umum usaha peternakan khususnya peternakan ternak ruminansia akan mengalami kesulitan dalam penyediaan hijauan makanan ternak di musim kemarau. Hal ini terjadi karena di musim kemarau makanan ternak tidak dapat tumbuh dengan baik sehingga penyediaan hijauan makanan ternak sangat berkurang. Sebaliknya di musim hujan ketersediaan hijauan makanan ternak amatlah melimpah, oleh karena itu perlu dilakukan pengawetan sebagai persediaan di musim kemarau.
Sistim pengawetan dilakukan melalui pembuatan hay (awetan hijauan kering) dan silase (awetan hijauan segar), sedangkan pengolahan dapat dilakukan dengan pengolahan secara fisik (pencacahan, penggilingan atau pemanasan), secara kimia (perlakuan alkali dan amoniasi) dan secara biologi yang umumnya dilakukan dengan metode fermentasi yang menggunakan jasa mikrobia selulolitik (Anonimous, 2009b)
Hay : hijauan yang dikeringkan sehingga kandungan air 12-20%. Untuk mendapatkan nilai gizi dan palatabilitas yang tinggi, hijauan atau legum harus dipotong menjelang berbunga. Kemudian hijauan tersebut dibiarkan mengering di lapangan atau dengan pengeringan paksa (Anonimous, 2009e). Pembuatan hay dengan menggunakan sinar matahari dapat dilakukan pada akhir musim penghujan karena pada saat itu intensitas matahari cukup tinggi dan hujan masih ada sehingga kemungkinan rumput masih dapat tumbuh. Rumput yang memiliki kualitas yang baik untuk dijadikan hay adalah rumput yang menjelang masa berbunga (Kavri, 2008). Pemanfaatan hay dalam beberapa penelitian ternyata : (1). Hay pada sapi muda dapat meningkatkan perkembangan fungsi rumen, sedangkan pada sapi dewasa kandungan bahan kering pada hay dapat meningkatkan daya serap bahan makanan. (2). Kualitas hay baik bila palatabilitas ternak meningkat (sangat disukai ternak) (3). Kualitas hay bergantung pada cuaca, pada cuaca yang sangat buruk (musim hujan) beberapa satuan nutrisi akan berkurang, (4). Hay dibandingkan dengan silase lebih ringan empat kalinya dengan kandungan bahan kering yang sama. (5). Pemberian pakan Centrosema pascourum dan Clitoria ternatea 100 % dalam bentuk hay pada anak sapi Bali jantan lepas sapih memberikan pengaruh yang sama terhadap konsumsi bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan organik. (Rubianti, Fernandez, Marawali., Budisantoso, 2008).
Silase : hijauan yang difermentasi sehingga hijauan tersebut tetap awet karena terbentuk asam laktat. Pengawetan dengan cara ini jarang dilakukan oleh peternak di Indonesia, mungkin karena jumlah hijauan yang tersedia relatif tak terbatas. Sebaliknya di negara empat musim dimana selama hampir delapan bulan hijauan tidak tersedia, namun mereka tidak pernah merasa kesulitan apalagi mengalami kerugian. Penyebabnya adalah mereka lebih berpengalaman menghadapi masa paceklik hijauan, yang mereka atasi dengan berbagai cara melakukan penimbunan hijauan yang telah diawetkan,sebelum musim paceklik tiba (Anonimous, 2009a). Pembuatan silase merupakan cara yang sangat cocok untuk mengawetkan daun ubikayu yang umumnya tersedia melimpah pada saat panen (Limon, 1992 ; Bui Van Chinh et al., 1992 ; Du Thanh Hang, 1998 ; Ly dan Rodriguez, 2001). Di samping untuk pengawetan, pembuatan silase merupakan cara yang efektif untuk menurunkan kadar HCN pada daun ubikayu (Tewe, 1991 ; Loc et al., 1996). Kavana et al., (2005) melaporkan bahwa penyimpanan daun ubikayu dalam bentuk silase selama tiga bulan dapat menurunkan kadar HCN dari 289 mg per kg BK daun ubikayu menjadi 20 mg per kg BK silase daun ubikayu. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Nhi et al. (2001) kandungan HCN daun ubikayu dapat turun hingga mencapai 14,6 mg per BK silase daun ubikayu. Hasil penelitian Silase daun ubikayu dengan bahan additive yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P < style=""> silase, namun penelitian in-vivo memberikan
respon tidak berbeda terhadap konsumsi BK dan PK ransum serta PBBH bila dibandingkan dengan anak kambing PE lepas sapih yang diberi pakan hijuan rumput gajah dan konsentrat susu PAP 1% dari berat badan (Marhaeniyanto dan Susanti, 2008). Penelitian silase daun kelapa dan amoniasi memberikan nilai yang lebih tinggi pada konsumsi ransum, kecernaan (bahan kering, bahan organik, dan NDF) serta memberikan nilai positif terhadap neraca nitrogen dan neraca energi dibandingkan dengan perlakuan kontrol (Hanafi, 2008). Hasil penelitian Ali (2004) mengenai suplementasi silase kulit pisang (Musa paradisiaca, Lamb) dalam pakan konsentrat pada sapi perah dara dapat meningkatkan nilai konsumsi pakan dan kecernaan BK, BO dan PK serta pertambahan bobot badan diatas pakan kontrol. Pada tingkat penambahan 45 % silase kulit pisang dari BK konsentrat dapat mengkonsumsi Bahan Organik Tercerna (BOT) sebesar 99,02 g/kgBM/hari setara dengan konsumsi energi sebesar 369,15 Kkal/kgBM/hari yang dapat meningkatkan pertambahan bobot badan sebesar 1,45 kg/ekor/hari atau 3 kali lipat dibanding menggunakan pakan kontrol.
Hasil penelitian Santoso dan Hariadi (2008) komposisi kimia dari 6 spesies hijauan yang diawetkan dengan metode hay dan silase memiliki kandungan nutrient yang tidak berbeda (P>0.05), walaupun terdapat variasi. Kandungan PK yang diawetkan dengan hay bervariasi antara 5,9% - 14,9%, sedangkan silase bervariasi antara 4,9%-13,6%. Penurunan PK pada metode hay bervariasi antara 5,9% - 14,9%, sedangkan silase bervariasi antara 4,9%-13,6%. Penurunan PK pada metode silase lebih rendah 1,2 unit dibandingkan dengan nilai PK hay. Penurunan PK pada silase disebabkan adanya ensim protease dari hijauan maupun Clostridia proteolitik selama ensilase. Degradasi BK, BK, BO dan konsentrasi N-NH3 pada metode pengawetan silase lebih tinggi dibandingkan dengan hay. Pengawetan rumput dengan metode hay menghasilkan gas CH4 yang lebih rendah dibandingkan dengan metode silase. Penelitian dengan pakan basal berupa campuran silase atau hay rumput timothy dan konsentrat (85 : 15, berdasarkan bahan kering (BK)), dengan variabel yang diukur adalah kecernaan nutrien, keseimbangan energi dan produksi metana menunjukkan bahwa produksi metana pada domba meningkat sejalan dengan peningkatan NDF tercerna. (Santoso, Mwenya, SAR dan Takahasi. 2007).
Memperhatikan hasil review dari silase maupun hay terhadap nilai nutrient dan nutrisi, serta fakta ketersediaan hijauan pakan menurut peternak adalah tidak tetap atau fluktuatif, sebanyak 61.87% responden menyatakan ketersediaan pakan bersifat musiman dan 28.38% responden menyatakan(Syamsu, 2007). Pengolahan pakan hay dan silase di Indonesia semakin diperlukan pada pengembangan model usaha peternakan yang dirumuskan oleh Departemen Pertanian dimana pelaksanaan agribisnis HMT dari budidaya, pemanenan, pemasaran sampai pengolahan dilaksanakan oleh koperasi/ KUD, penyediaan lahan (bekerja sama dengan Pemda, Dinas Kehutanan/Perkebunan), hasil produksi HMT sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan ternak milik Koperasi/KUD, sebagian dijual kepada peternak, dan kelebihannya dilakukan pengolahan, yaitu dalam bentuk kering (Hay) dan segar (Silage) (Anonimous, 2009c, Anonimous, 2009d).
Kesimpulannya, prospek pengolahan pakan hay dan silase diperlukan di Indonesia yang merupakan solusi yang sudah diterapkan peternak dan bisa menjamin ketersediaan pakan guna mendukung pemenuhan kebutuhan hidup pokok dan produksi ternak yang berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, U. dan N. Humaidah. 2004. Optimalisasi Konsumsi dan Pertumbuhan Sapi Perah Dara melalui Suplementasi Silase Kulit Pisang (Musa paradisiaca, Lamb) dalam Pakan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Islam Malang.
Anonimous, 2009a. Pengawetan Pakan dengan Pembuatan Hay. tonysapi.multiply.com/journal/item/16 - 43k - diakses pada 29 Januari 2009.
Anonimous, 2009b. Pengolahan Pakan Hijauan. teknopakan.blogspot.com/2008/04/pengolahan-pakan-hijauan.html - 80k – diakses pada 28 Januari 2009.
Anonimous, 2009c. Penyusunan Model Pengembangan Agribisnis Pakan. smecda.com/kajian/files/Jurnal_Nomor%202%20Tahun%20I_2006/10_Penyusunan_Model_Pengemb_Agri_Pakan.pdf - diakses pada 29 Januari 2009.
Anonimous, 2009d. Teknologi Pakan. jajo66.wordpress.com/2008/05/ - 30k – diakses pada 28 Januari 2009.
Anonimous, 2009e. Teknologi Pengawetan Hijauan Makanan Ternak. www.lestarimandiri.org/peternakan/pakan-ternak/91-pakan-ternak/152-teknologi-pengawetan-makanan-ternak.html diakses pada 28 Januari 2009
Bui Van Chinh, Le Viet Ly, Nguyen Huu Tao, and Do Viet Minh. 1992.' Molasses and Ensiled Cassava Leaves for Feeding Pigs Results of research 1985 -1990. Agricultural Publishing House, Hanoi. pp 46.
Hanafi, N.D., 2008. Perlakuan Silase dan Amoniasi Daun Kelapa Sawit sebagai Bahan Baku pakan Domba. library.usu.ac.id/download/fp/ternak-Nevy.pdf - Diakses pada 29 Januari 2009.
Kavri, E. 2008. HAY ( Rumput Kering sebagai Pakan Ternak di Musim Kemarau ),
www.disnaksumbar.org/index.php?option=com_content&task=view&id=289&Itemid=84 - 54k. diakses pada 29 Januari 2009.
Limon, R. L. 1992. Ensilage of Cassava Products and Their Use as Animal Feed. In; Roots, Tubers, Plantains and Bananas in Animal Feeding (Editors: D Machin and A W Speedy). FAO Animal Production and Health. Paper No. 95: 99-110. http://www.fao.org/ag/aga/agap/frg/AHPP95/95-99.pdf
Loc, N.T., Ogle, R. B. and Preston, T. R. 1996. On Farm and on Station Evaluation of Cassava Root Silage for Fattening Pigs in Central Vietnam. MSc. Thesis. Swedish University of Agricultural Sciences.
Ly, J. and Rodríguez, L. 2001. Studies on the Nutritive Value of Ensiled Cassava Leaves for Pigs in Cambodia. In: Cassava as livestock feed (Editors: T R Preston and M Wanapat). July 23-25 2001, Khon Kaen University, Thailand
Marhaeniyanto, E dan S. Susanti, 2008. Pemanfaatan Silase daun Ubi Kayu (Manihot sp.) Untuk Pakan Ternak Kambing. Laporan Penelitian Dosen Muda. DP2M Dikti-LPPM Unitri. Malang.
Ngo van Man, Duong Nguyen Khang, and Hans Wiktorsson, 2005. Ensiled Cassava Tops Used as a Ruminant Feed. Regional Workshop on The Use of Cassava Roots and Leaves for On-Farm Animal Feeding. Hue, Vietnam. January 17-19, 2005.
Nhi, L.D., Mai Van Sanh and Le Viet Ly, 2001. Supplementing Cassava Root Meal and Cassava Processed Leaves to Diets Based on Natural Grasses, Maize Stover and Rice Straw for Fattening Young Swamp Buffaloes. Proceedings of National workshop on swamp buffalo development - Hanoi 16-17/12/2001
Rubianti. A, P. Th. Fernandez., H.H. Marawali., E. Budisantoso, 2008. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Hay Clitoria Ternatea dan Centrosema pascourum cv cavalcade pada anak sapi bali jantan lepas sapih. ntt.litbang.deptan.go.id/karya-ilmiah/7.pdf - . Diakses pada 28 Januari 2009
Santoso, B dan B.Tj. Hariadi, 2008. Komposisi Kimia, Degradasi Nutrien dan Produksi Gas Metana in Vitro Rumput Tropik yang diawetkan dengan metode silase dan hay. Jurnal Media Peternakan Vol. 31 No. 2 : 81-154. Agustus 2008 (128 – 135).
Santoso, B., B. Mwenya, C. SAR dan J. Takahasi. 2007. Produksi metana dan partisi energi pada domba yang diberi pakan basal silase atau hay rumput timothy. JITV 12(1): 27-33.
Syamsu, J.A. 2007. Karakteristik Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia pada Peternakan Rakyat di Sulawesi Selatan jasmal.blogspot.com/2007/09/karakteristik-pemanfaatan-limbah.html - 92k – diakses pada 28 Januari 2009.
Tewe, O. O. 1991. Detoxification of Cassava Products and Effects of Residue Toxins on Consuming Animals. In; Roots, tubers, plantains and bananas in animal feeding (Editors: D. Machin and Solveig Nyvold). FAO Animal Production and Health Paper No. 95: 81-95 http://www.fao.org/ag/aga/agap/frg/AHPP95/95-81.pdf

Minggu, 25 Januari 2009